Sabtu, 29 November 2008

PRODUKSI BELATUNG (MAGGOT)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pakan ikan secara fungsional dibagi menjadi tiga, yaitu pakan untuk benih, pembesaran dan pakan untuk induk. Pakan untuk pembesaran diperlukan dalam porsi sangat besar dan kecenderungannya dari segi harga makin mahal. Fenomena ini merupakan implikasi dari semakin menurunnya sumber daya alam sebagai bahan pakan untuk pembesaran, dan juga adanya kompetisi penggunaan yaitu sebagai sumber pangan untuk konsumsi manusia serta sumber pakan pada usaha peternakan.

Sumber pakan untuk usaha pembesaran ikan yang selama ini dikembangkan adalah, pertama: pakan ikan yang terdiri dari berbagai bahan, kemudian dibentuk dalam bentuk bubur, pasta atau pelet; kedua: silase ikan; ketiga: trash fish dan animal offal. Dari ketiga sumber pakan ini diprediksi ke depan akan semakin langka seiring semakin intensifnya usaha produksi pembesaran ikan. Terkait dengan permasalahan ini perlu dicari sumber pakan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan ikan dengan ketersediannya dapat diusahakan dalam jumlah banyak.

Limbah organik pertanian di Indonesia tersedia dalam jumlah banyak, seperti limbah Palm Kernel Milt (PKM) dan ampas tahu. Kedua limbah ini yang memanfaatkan baru para petenak untuk makanan hewan mamalia, namun untuk makanan ikan belum. Bahan ini masih memiliki kandungan protein cukup tinggi, seperti PKM kandungan proteinnya sekitar 18% dan ampas tahu sekitar 15%. Namun protein ini tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh ikan, karena sistem pencernaannya termasuk monogastric.

Untuk meningkatkan nilai gizi limbah tersebut dapat dirombak melalui proses biologis, yaitu digunakan sebagai media dan sumber makanan belatung, sehingga akan diperoleh bahan berupa belatung yang memiliki kandungan gizi cukup lengkap dengan kandungan protein lebih dari 42%. Kelebihan lain dari belatung ini memiliki kandungan antimikroba dan anti jamur, sehingga apabila dikonsumsi oleh ikan akan tahan terhadap penyakit bakterial dan jamur.

Dari proses biologis ini, bahan limbah yang merupakan media dan sisa proses metabolisme belatung dapat dijadikan sebagai sumber pakan ikan. Bahan pakan ini dapat dicerna oleh ikan dan memiliki kandungan nutrien cukup tinggi.

Oleh karenanya akan dilakukan perekayasaan kultur belatung dengan memanfaatkan media limbah organik PKM dan ampas tahu.

1.2 Tujuan dan Sasaran

Untuk mendapatkan model teknik kultur belatung dan dapat diketahui media kultur yang terbaik sehingga diperoleh produksi belatung yang tinggi.

Melalui kegiatan perekayasaan ini ditargetkan produksi belatung sebanyak 100 kg per bulan pemeliharaan

II. METODOLOGI

II.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan akan dilaksanakan pada bulan April sampai Desember Tahun Anggaran 2005 di Laboratorium Pakan, dan Workshop Pakan BBAT Sukabumi, Jawa Barat (Lampiran 1).

II.2 Bahan dan Peralatan

Bahan yang diperlukan untuk perekayasaan ini adalah : induk lalat, ikan untuk media peneluran lalat, media kultur maggot terdiri dari PKM dan hampas tahu, buah-buahan untuk makanan lalat.

Peralatan terdiri dari : kandang lalat, scope net, baki plastik, petri dish, hand sprayer, stoples plastik, drum plastik, blender, freezer box, refrigerator, kantong plastik, sepatu boat, sarung tangan, timbangan, termometer dan peralatan panen maggot.

II.3 Metode Kerja

Ada dua metode kultur maggot yang akan diuji, yaitu:

1. Pemeliharaan maggot secara terbuka dan,

2. Secara tertutup.

Ada dua metode kultur magot yang akan diuji yaitu, pertama pemeliharaan magot secara terbuka dan, kedua secara tertutup. Untuk metode pemeliharaan terbuka prosedur kerjanya sebagai berikut :

- Telur diperoleh dari lalat liar atau serangga bunga. Untuk merangsang agar lalat mau bertelur dilakukan dengan menempatkan ikan mati yang sudah dipotong-potong kemudian disimpan dalam wadah seperti baki plastik atau petridish yang selanjutnya ditempatkan dalam ruang terbuka.

- Setelah diperoleh telur, kemudian disimpan dalam media kultur magot. Salah satu media yang digunakan adalah palm kerneal meal (PKM). Sebelum dijadikan sebagai media kultur, terlebih dahulu dilakukan proses fermentasi pada PKM. Proses fermentasi PKM adalah sebagai berikut : bungkil sawit sebanyak 40 kg, dicampur air 20 kg dan mikroba dari dalaman lambung mamalia (kambing atau kerbau) sebanyak 10-20%, kemudian dimasukan ke dalam tong plastik. Selanjutnya ditutup rapat dan ditimbun sekam padi untuk mempertahankan suhu. Proses fermentasi ini memerlukan waktu selama satu bulan, dan selanjutnya bahan PKM yang sudah terfermentasi dijadikan sebagai media kultur magot.

- Wadah yang digunakan untuk pemeliharan larva magot menggunakan baskom plastik dan fibre glass. Tiap perlakuan diisi 15 kg bahan media kultur. Dengan perlakuan media kultur sebagai berikut :

o Perlakukan A : PKM (100%) dan ampas tahu (0%)

o Perlakuan B : PKM (50%) dan ampas tahu (50%)

o Perlakuan C : PKM (0%) dan ampas tahu (100%)

Semua perlakukan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.

- Khusus untuk larva magot dari lalat hijau, pemeliharaan dalam media kultur dilakukan selama 4-5 hari. Setelah itu magot dapat dipanen, dengan cara dipisahkan dari media kultur dan berbagai kotoran lainnya. Adapun untuk larva magot dari serangga bunga pemeliharaan dalam media kultur memerlukan waktu 5-7 hari. Cara pemanenan sama halnya dengan magot lalat hijau.

- Jumlah magot yang diperoleh kemudian ditimbang, demikian pula halnya dengan media kultur pada awal pemeliharaan dilakukan penimbangan.

- Analisa proksimat dilakukan pada magot dan media kultur.

Sedangkan prosedur kerja pada pemeliharaan tertutup, secara umum prosedur pekerjaan sama dengan pada metode terbuka, perbedaan hanya pada metode pemeliharaan lalat yang digunakan sebagai sumber telur. Pada metode tertutup ini, lalat dan serangga bunga dipelihara dalam kandang lalat. Kandang berbentuk kotak terbuat dari kawat, dengan pinggirannya dibingkai oleh besi siku berukuran 1,5 x 1,2 x 2 m.

Induk lalat hijau (Calliphora sp) dan serangga bunga (Hermetia illucens) diperoleh dengan cara menetaskan pupa dalam kandang lalat. Kemudian dipelihara, dengan cara diberi makan berupa juice buah-buahan. Setiap hari yaitu waktu pagi dan sore hari disemprotkan air.

Untuk Calliphora sp, peneluran dilakukan dengan cara menyimpan potongan ikan mati yang dimasukkan ke dalam kandang lalat. Setiap kandang diisi potongan ikan mati sebanyak 2-5 bagian yang ditempatkan menyebar secara merata. Adapun untuk Hermetia illucens dengan cara menyimpan PKM yang sudah difermentasi. Apabila sudah diperoleh telur, kemudian ditetaskan dalam media pemeliharaan magot.

IV. HASIL dan PEMBAHASAN

IV.1 HASIL

IV.1.1 Produksi Magot Calliphora sp

Produksi magot Calliphora sp dari cara pemeliharaan secara terbuka disajikan pada Tabel 1, hasil sistem tertutup disajikan pada Tabel 2 dan hasil produksi dalam selang 17 hari dari setiap wadah disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Produksi magot Calliphora sp umur 4 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan terbuka

No

Jenis media kultur (15 kg/wadah)

Ulangan

Rata-rata

1

2

3

1

PKM (100%) dan ampas tahu (0%)

0,5

0,7

0,5

0,566

2

PKM (50%) dan ampas tahu (50%)

5,0

5,5

5,0

5,166

3

PKM (0%) dan ampas tahu (100%)

9,7

9,5

10,0

9,73

Tabel 2. Produksi magot Calliphora sp umur 4 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan tertutup

No

Jenis media kultur (15 kg/wadah)

Ulangan

Rata-rata

1

2

3

1

PKM (100%) dan ampas tahu (0%)

0,4

0,5

0,5

0,46

2

PKM (50%) dan ampas tahu (50%)

0,5

0,5

0,4

0,46

3

PKM (0%) dan ampas tahu (100%)

1

1,5

1

1,16

Tabel 3. Produksi magot Calliphora sp umur 4 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan terbuka selama 17 hari menggunakan limbah ampas tahu (15 kg/wadah)

No

Tanggal panen

Hasil magot (kg)

Cuaca pada saat koleksi telur

1

27 Mei 05

10

terang

2

28 Mei 05

9

terang

3

30 Mei 05

9

terang

4

31 Mei 05

9

terang

5

01 Juni 05

10

terang

6

02 Juni 05

8

terang

7

03 Juni 05

10

terang

8

04 Juni 05

10

terang

9

05 Juni 05

10

terang

10

06 Juni 05

7

mendung

11

07 Juni 05

5

mendung

12

08 Juni 05

5

mendung

13

09 Juni 05

7

mendung

14

10 Juni 05

5

gerimis

15

11 Juni 05

7

Hujan

16

12 Juni 05

3

hujan

17

14 Juni 05

10

terang

Total produksi magot :

134

Rata-rata per hari :

7,9

IV.1.2 Produksi magot Hermetia illucens

Produksi magot Hermetia illucens dengan dengan sistem pemeliharaan secara terbuka disajikan pada Tabel 4, produksi dengan sistem pemeliharaan tertutup disajikan pada Tabel 5 dan hasil produksi rutin dalam selang waktu bulan Nopember dan Desember disajikan pada Tabel 6

Tabel 4. Produksi magot Hermetia illucens umur 7 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan terbuka

No

Jenis media kultur (15 kg/wadah)

Ulangan

Rata-rata

1

2

3

1

PKM (100%) dan ampas tahu (0%)

7,0

10,0

8,5

8,5

2

PKM (50%) dan ampas tahu (50%)

5,0

4,0

4,5

4,5

3

PKM (0%) dan ampas tahu (100%)

-

-

-

-

Tabel 5. Produksi magot Hermetia illucens umur 7 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan tertutup

No

Jenis media kultur (15 kg/wadah)

Ulangan

1

2

3

1

PKM (100%) dan ampas tahu (0%)

-

-

-

2

PKM (50%) dan ampas tahu (50%)

-

-

-

3

PKM (0%) dan ampas tahu (100%)

-

-

-

Tabel 6. Produksi magot Hermetia illucens umur 7 hari dalam bobot basah (kg) pada sistem pemeliharaan terbuka selama bulan Nopember-Desember (15 kg PKM/wadah)

No

Tanggal Pemanenan

Hasil magot (kg)

1.

02 Nopember

9

2.

09 Nopember

9

3.

11 Nopember

5

4.

15 Nopember

9

5.

18 Nopember

14

6.

24 Nopember

9

7.

03 Desember

8

8.

05 Desember

11

9.

13 Desember

9

10.

23 Desember

8

Jumlah produksi :

91

Rata-rata per hari :

9,1

IV.1.3 Analisa Proksimat

Hasil analisa proksimat magot, PKM sebelum difermentasi dan setelah difermentasi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan proksimat magot, PKM awal dan PKM fermentasi


Calliphora sp

Hermetia illucens

PKM awal

PKM fermentasi

Kadar air (%)

8,25

25,07

14,28

61,85

Kadar abu (%)

14,35

7,78

4,08

1,58

Protein (%)

41,42

31,09

16,71

17,86

Lemak (%)

14,30

5,47

6,15

12,79

Serat kasar (%)

2,73

8,77

22,49

0,04

BETN (%)

18,95

21,82

36,29

5,89

Dalam bobot kering (kadar air 0%) :

Kadar abu (%)

15,64

10,38

4,75

4,14

Protein (%)

45,14

41,49

19,50

46,80

Lemak (%)

15,58

7,30

7,17

33,52

Serat kasar (%)

2,97

11,70

26,24

0,10

BETN (%)

20,67

29,13

42,34

15,44

Ket. : BETN : bahan ekstrak tanpa nitrogen

IV.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil perekayasaan ini teknik kultur magot pada sistem terbuka produksinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tertutup. Bahkan pada Hermetia illucens yang dipelihara secara tertutup tidak berhasil mendapatkan telur, karena sebagian besar induknya yang dipelihara dalam kandang banyak ditemukan mati.

Tingginya produksi magot pada sistem terbuka, dimungkin karena serangga yang diluar lebih survive dibanding dengan serangga yang ada dalam kandang. Selain itu, serangga atau lalat yang di alam akan mendapatkan makanan sesuai dengan yang disukai dan dari segi gizi lebih lengkap sesuai dengan kebutuhannya, sehingga akan mendukung dalam aktivitas reproduksi yang pada akhirnya akan diperoleh jumlah telur lalat atau serangga yang cukup memadai.

Pemeliharaan magot nampaknya sangat dipengaruhi oleh jenis media kultur. Magot jenis Calliphora sp lebih menyukai ampas tahu dibandingkan dengan PKM, sedangkan magot jenis Hermetia illucens lebih menyukai PKM. Hal ini telihat dari produksi magot pada Calliphora sp tertinggi dicapai pada media kultur ampas tahu, dengan rata-rata produksi sebanyak 9,73 kg , sedangkan pada media kultur PKM hanya diperoleh magot sebanyak 0,57 kg dan campuran keduanya 5,17 kg dengan jumlah media kultur masing-masing sebanyak 15 kg per wadah. Namun sebaliknya Hermetia illucens lebih menyukai PKM sebagai media kultur dibandingkan dengan ampas tahu atau campuran keduanya.

Nampakanya perilaku serangga dalam menempatkan telur ada kaitannya dengan ketersediaan makanan yang cocok untuk kehidupan magot, dan jenins makanan ini nampaknya sangat spesifik. Hal ini mungkin bergantung pada bau, cita rasa dan kandungan gizi dari media kultur.

Berdasarkan data dari hasil produksi magot dengan pemberian media kultur tunggal sebanyak 15 kg per wadah pemeliharaan, yaitu PKM atau ampas tahu saja, dihasilkan produksi magot Calliphora sp sebanyak 134 kg per 17 kali panen, dengan waktu siklus produksi 17 hari, atau rata-rata produksi per hari sebanyak 7,9 kg; dan magot Hermetia illucens sebanyak 91 kg per 10 kali panen dengan waktu siklus produksi selama 51 hari, atau rata-rata produksi per haria sebesar 1,78 kg. Dari hasil perekayasaan ini nampak Calliphora sp pertumbuhannya lebih cepat, sebesar 4,4 kali dibanding dengan Hermetia illucens. Sehingga apabila menginginkan produksi masal maka yang cepat pertumbuhannya adalah Calliphora sp. Namun dilihat dari segi aspek lingkungan dan kesehatan manusia, nampaknya Hermetia illucens lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena peluang untuk sebagai penyebar penyakit tidak ada.

Hermetia illucens dalam siklus hidupnya tidak hinggap dalam makanan yang langsung dikonsumsi manusia. Dalam usia dewasa makanan utamanya adalah sari bunga, sedangkan pada usia muda makanannya berasal dari cadangan makanan yang ada dalam tubuhnya. Perkembangbiakan dilakukan secara seksual, yang betina mengandung telur, kemudian telur diletakan pada permukaan yang bersih, namun berdekatan dengan sumber makanan yang cocok untuk larva. Larva kecil sangat memerlukan banyak makanan untuk tumbuh sehingga menjadi pupa. Sumber makanan yang paling disukai nampaknya adalah PKM yang sudah terfermentasi. Dengan demikian prospek untuk pengembangan magot sebagai pakan ikan lebih aman adalah Hermetia illucens.

Proses fermentasi sangat efektif dalam mencerna serat kasar yang susah dicerna oleh hewan monogastric. Sebagaimna data yang tercantum pada Tabel 7 kandungan serat kasar PKM sebelum fermentasi sebesar 26,24% dan setelah fermentasi 0,10%. Selain itu ada peningkatan kandungan protein dan lemak yang cukup signifikan, sebelum fermentasi sebesar 19,50% dan 7,17% sedangkan setelah fermentasi menjadi 46,80% dan 33,52%. Melihat kandungan proksimat PKM frementasi ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk pakan magot. Salah satu yang diperlukan adalah kandungan protein dan lemaknya cukup tinggi, untuk sebagai cadangan makanan pada saat hibernasi, metamorfosis dan cadangan makanan pada usia serangga muda.

Komposisi proksimat magot cukup sesuai untuk dijadikan sebagai makanan ikan. Dilihat dari kandungan proksimatnya mengandung protein lebih dari 40%, kandungan lemak cukup tinggi dan yang lebih khusus pada magot adalah memiliki enzim dan antimikroba. Sehingga akan mudah dicerna oleh semua jenis ikan dan kemungkinan besar akan meningkatkan daya tahan tubuh pada ikan.

Berdasarkan hasil kajian pustaka, magot ini telah banyak diaplikasikan untuk pakan unggas (Awoniyi, et al. 2003 Zuidhof, et al. 2003), ikan lele (Fasakin, et al. 2003 dan Madu and Ufodike, 2003). Dari beberapa penelitian sebelumnya magot dapat mensubstitusi tepung ikan pada pakan ayam (Awoniyi, et al, 2003) dan pada ikan lele (Fasakin, et al. 2003)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perekayasaan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

- Model kultur magot yang dapat menghasilkan produksi yang tinggi adalah sistem kultur terbuka dibandingkan sistem tertutup. Dengan model ini, dapat diproduksi magot jenis Callipora sp dalam waktu produksi 17 hari dengan media kultur sebanyak 255 kg, diperoleh magot sebanyak 134 kg, sedangkan untuk jenis Hermetia illucens dalam waktu produksi 51 hari dengan media kultur sebanyak 150 kg, diperoleh magot sebanyak 91 kg.

- Media kultur yang terbaik untuk magot jenis Calliphora sp adalah ampas tahu, sedangkan untu jenis Hermetia illucens adalah bungkil sawit (PKM) yang sudah difermentasi.

V.2 Saran

Berdasarkan hasil perekayasaan ini, disarankan :

- Jenis magot untuk dikembangkan secara massal yang terbaik adalah Hermetia illucens dibandingkan dengan Calliphora sp. Karena Hermetia illucens pada usia dewasa dalam kebiasaan hidupnya tidak hinggap dalam makanan manusia dan sebagai makanan utamanya adalah saribunga. Sedangkan Calliphora sp biasanya makanan utamanya adalah binatang yang sudah menjadi bangkai.

- Dilihat dari kandungan proksimatnya, magot ini dapat dijadikan sumber protein alternatif tepung ikan, sehingga ada harapan mendapatkan protein hewani yang berkelanjutan dengan memanfaatkan limbah industri pertanian, yaitu limbah sawit.