I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Cacing sutera atau cacing rambut (Tubifex sp) merupakan cacing air tawar seperti rambut dan berwarna kemerahan karena banyak pembuluh darah yang terdapat dalam tubuhnya. Cacing sutera digunakan sebagai pakan alami ikan karena kandungan nutrisi yang tinggi dan ukurannya sesuai untuk kebutuhan larva ikan. Menurut Rech et al (2013); Shafrudin, et al., 2005 dan Muria et al., (2012) bahwa kandungan nutrisi cacing sutera adalah protein 50-55%, lemak 8-10%, serat 2-5%, abu 4-7% dan air 8-10%. Selain itu cacing sutera memiliki daya cerna dalam usus ikan antara 1,5-2 jam. Kandungan nutrisi cacing sutera lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis pakan alami lainnya seperti Artemia sp dan Dapnia sp (Oplinger et al 2011). Permasalahan yang ditemukan adalah kurangnya ketersediaan cacing sutera di alam. Keterbatasan ketersediaan cacing sutera juga dipengaruhi kondisi cuaca dan musim. Seperti pada saat musim hujan, ketersediaan cacing sutera dari alam susah didapatkan karena terbawa arus air (Hadiroseyani dan Dana, 2007). Sedangkan pada saat musim tersebut permintaan kebutuhan cacing sutera meningkat seiring dengan musim pemijahan ikan. Permasalahan lainnya adalah cacing sutera hasil tangkapan dari alam berpotensi sebagai carier penyakit bagi ikan budidaya. Melihat kondisi budidaya cacing sutera saat ini masih dalam skala terbatas dengan sistem teknologi budidaya yang belum berkembang. Berdasarkan permasalahan tersebut maka sangat diperlukan informasi model budidaya cacing sutera untuk skala masal. Dengan hasil budidaya cacing sutera yang terkontrol maka diharapkan ketersediaan cacing sutera dapat kontinyu dan terjamin kualitas dan kuantitasnya.
1.2. Tujuan Mendapatkan teknologi budidaya cacing sutera (Tubifex sp) dan untuk memenuhi kebutuhan pakan alami di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar, Sukabumi.
II. BIOLOGI CACING SUTERA
2.1 Morfologi Cacing Sutera Cacing sutera tergolong dalam phylum annelida (annulus= cincin kecil), class Oligochaeta, order Haplotaxida, family Tubificidae dan genus Tubifex (Poddubnaya, T.L., 1980). Bentuk tubuh cacing sutera panjang cylindris, terdiri dari 30-60 segment, ukuran 10-30mm dan diameter 0,5mm (Poddubnaya, T.L., 1980). Sistem pernafasan cacing sutera dengan cara pertukaran oksigen dan karbondioksida melalui permukaan tubuhnya karena banyak mengandung pembuluh darah. Posisi cacing sutera berbentuk tabung di dalam lumpur media dengan bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar lumpur dan bergerak bolak-balik secara aktif di dalam air. Kondisi tersebut dapat membentuk sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. 2.2 Reproduksi Cacing Sutera Cacing sutera mempunyai sistem reproduksi hermaphroditic yaitu setiap individu cacing mempunyai organ jantan (testes) dan organ betina (ovaries) yang saling berdekatan terletak dibagian vetral dari tubuh cacing. Pada cacing dewasa, organ reproduksi sangat jelas terlihat pada bagian ventral tubuhnya. Awal siklus hidup cacing dimulai dari fase telur. Telur yang dibuahi oleh pejantan akan mengalami pembelahan sebelum akhirnya menetas. Telur-telur cacing sutera terletak di dalam cocon. Cocon berbentuk bulat, panjang 1.0mm dan diameter 0.7mm yang dihasilkan oleh kelejar epidermis dari salah satu segmen tubuh cacing yang disebut klitelum. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar antara 4-5 butir. Reproduktivitas cacing sutera dapat menghasilkan telur 92-340 telur dengan temperatur 0.5-30°C (Poddubnaya, 1980). Waktu siklus hidup cacing sutera dari telur hingga menetas (menjadi dewasa) dan bertelur kembali membutuhkan waktu 50-57 hari (Gusrina, 2008). Waktu proses perkembangan embrio selama 10–12 hari. Cacing sutera dewasa dapat menghasilkan kista yang dapat tahan pada kondisi kering selama dua minggu (Arkhipova, 1996). 2.3 Lingkungan Cacing sutera dapat ditemukan di selokan atau saluran-saluran air, sungai-sungai dan pada area pertanian yang tergenang air (Bruggemann 2012). Pada umumnya pada area tersebut banyak mengandung lumpur yang halus. Kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung sifat hisup cacing sutera dalam pertumbuhan dan kerkembanganya. Parameter optimum kualitas air untuk hidup cacing sutera adalah suhu 25-30°C, oksigen 0.3-0.6mg/L dan pH 6.5-9 (Oplinger et al. 2011). Menurut Schlotz et al (2012), Elissen et al (2015) dan Boyd (1992) berpendapat bahwa pH yang optimal untuk kegiatan budidaya cacing sutera antara 6.5–8.0. Konsentrasi oksigen yang rendah tidak terlalu berpengaruh pada tingkat kematian cacing karena menurut Gnaiger et al. (1987) bahwa Oligochaetes akuatik dikenal dengan kemampuannya untuk bertahan lama dalam keadaan anoxia (kekurangan oksigen). Bahkan cacing sutera dapat hidup dalam kondisi perairan tercemar (Palmer, M. F. 1968). Cacing sutera sangat bagus hidup dan berkembangbiak pada lingkungan yang mengandung bahan organik tinggi karena berguna untuk makanan cacing sutera. Ukuran partikel organik yang dimakan cacing sutera berukuran 5mg dapat ditemui pada kedalaman 2-4cm (Marian dan Pandian. 1984).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Persiapan Lahan a. Membuat model petakan Dalam menyiapkan petakan untuk budidaya cacing sutera perlu memperhatikan ketersediaan dan kecukupan air. Desain wadah dan penggunaan sistem pengairan harus disesuaikan juga dengan lokasi atau kondisi lahan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup cacing dan produktifitas yang dihasilkan. Berdasarkan sistem penggunaan air maka budidaya cacing sutera dapat dilakukan dengan cara sistem resirkulasi dan sistem terbuka. Sistem resirkulasi yaitu air yang digunakan dapat dialiri kembali ke area budidaya. Sedangkan sistem terbuka yaitu air yang digunakan mengalir lepas melalui outlet ke area pembuangan. Ukuran setiap petakan 0mx2m dan ukuran pematang 9mx0.2m. Desain petakan dibuat berbentuk zig-zat tidak terputus antara petakan dalam satu area atau kawasan sampai outlet. b. Pengolahan Lahan Melakukan pengolahan tanah (dibajak/dicangkul) dengan tujuan agar tanah menjadi gembur sehingga mempermudah dalam proses dekomposisi dari bahan organik yg diformulasikan. Pada saat proses tersebut dimasukkan pupuk organik sehingga tanah lahan dan pupuk dapat tercampur merata. Penggunaan pupuk organik diantaranya kotoran puyuh 200-250gram/m2 petakan; dedak halus 100gram/m2 dan limbah sayur 500gram/2. Kedalaman lahan dari permukaan pematang minimal 30cm. c. Pengairan lahan Media yang sudah diolah, digenangi air setinggi 5cm selama 1-2 minggu dengan menutup saluran outlet lahan. Hal ini bertujuan agar proses dekomposisi bahan organik berlangsung sempurna. Setelah itu mengaktifkan sirkulasi air selama 24 jam agar lumut atau hama lain yang berada pada media dapat hanyut terbawa air. Apabila media sudah menjadi lumpur halus ditandai dengan berwarna coklat kehitaman dan berbau khas bahan organik maka media sudah siap untuk diinokulasikan bibit cacing sutera. 3.2. Inokulasi Cacing Sutera Inokulasi adalah proses pemberian inokulan pada media kultur budidaya. Inokulan (starter) dapat diperoleh dari alam atau hasil budidaya. Jumlah inokulan cacing sutera yang ditebar antara 10-50gram/m2. Pemberian inokulan dilakukan dengan cara ditebar secara merata pada permukaan media. 3.3. Masa Pemeliharaan a. Pakan Pakan cacing yang diberikan dapat berupa bahan yang difermentasi untuk dosis per meter persegi dengan komposisi: kotoran hewan/Kohe (kotoran puyuh) sebanyak 37,88gram; ampas tahu 7,58; dedak halus 4,55gram. Bahan-bahan tersebut difermentasi dalam wadah tertutup selama 7 hari. Setelah waktu 7 hari maka bahan dapat digunakan dengan cara ditebar merata pada permukaan media. Dalam bahan-bahan fermentasi tersebut dapat juga ditambahkan probiotik komersial dan molase dengan dosis sesuai dengan kebutuhan. Pemberian pakan mengikuti pola reproduksi atau perkembangbiakan cacing sutera. Pertumbuhan cacing sangat dipengaruhi oleh kesesuaian kondisi media pemeliharaan dan kecukupan nutrisi pakan. Jumlah pemberian pakan sebanyak 50g/m2/minggu. Cara pemberian pakan dilakukan dengan menebar bahan pakan secara merata pada permukaan media. b. Pengadukan media kultur cacing Pengadukan media kultur dapat dilakukan secara rutin setiap 1 minggu sekali atau apabila ada tumbuhan lumut pada media. Pengadukan media bertujuan untuk mengemburkan/menjadikan media lebih lunak. Kondisi tersebut sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing sutera. c. Pengendalian hama Pembersihan area kultur dari organisme seperti keong, lumut sutera dan ikan-ikan liar. Organisme tersebut dapat memakan dan menganggu perkembangbiakan cacing sutera serta dapat menganggu dalam proses panen. Hama berupa keong dan ikan-ikan liar dapat dibersihkan dengan cara mengangkap hewan tersebut dari media. Sedangkan untuk lumut dapat dilakukan dengan cara memperbesar debit air sehingga lumut terbawa aliran air atau dapat dengan cara membalikan media. d. Pengaturan air Ketinggian air dalam petakan minimal 5cm. Debit air sebesar 400-600 ml/detik sehingga dapat mengganti air di dalam petakan kolam selama 30-35 menit. Kondisi debit air yang besar dapat menghilangkan lumpur halus dari permukaan media karena akan terbawa oleh arus. Hal tersebut tidak baik karena akan mengurangi bahan organik yang terdapat dalam media. Sedangkan bahan organik tersebut sangat dibutuhkan sebagai makanan cacing sutera. 2.1. Panen Dalam proses pemanenan dibutuhkan bak penampungan dan beberapa peralatan pendukung diantaranya scope net size 5mm, ayakan/saringan, ember dan baskom. Bak penampungan dipergunakan untuk menampung cacing sutera setelah panen. Hal ini bertujuan untuk membersihkan/memisahkan cacing sutera dari kotoran/lumpur media yang terbawa pada saat panen. Proses pemanenan dilakukan secara parsial. Panen pertama cacing sutera dilakukan pada hari ke-50 atau 57 setelah penebaran inokulan. Pemanenan kedua dan selanjutnya dapat dilakukan setiap 2 minggu sekali. Cara pemanenan yaitu mengambil media sampai kedalaman 5cm dengan menggunakan scopnet. Scopenet diayunkan beberapa kali dalam air media agar lumpur halus yang terbawa dapat keluar. Selain itu untuk menghindari terbawanya telur-telur cacing yang berada dalam lumpur. Hasil panen dimasukkan dalam bak penampungan selama 24 jam. Pada bak penampungan dilengkapi air inlet dan outlet yang selalu mengalir. Pada hari berikutnya dilakukan pengambilan cacing secara hati-hati agar kotoran/lumpur tidak terbawa. Pembersihan cacing dari lumpur dapat juga dilakukan dengan cara merendam cacing selama 4-6 jam dengan air bersih. Kemudian ember ditutup dengan bahan yang berwarna gelap, hal ini akan membuat cacing bergerombol dipermukaan lumpur. Dalam kondisi tersebut cacing dapat diambil untuk dipisahkan dari kotoran/lumpur. Cacing sutera bersifat photophobic sehingga waktu yang sangat baik untuk panen adalah di sore hari atau sebelum gelap.